Pages

Kebiasaan Keliru Mendidik Anak

Mendidik anak bukan perkara mudah, namun demikian tidak banyak orangtua yang sungguh-sungguh  konsen terhadap pendidikan anaknya. Banyak orangtua merasa sudah cukup apabila semua kebutuhan materi anaknya dipenuhi. Perkara pendidikan adalah urusan pembantu, urusan baby sister, urusan  sekolah, urusan guru, sedangkan orangtua cukup sebagai “supporter” dalam hal memenuhi kebutuhan; uang, pakaian, makanan, dan kebutuhan sekunder lainya. Walhasil ketika anaknya menjadi remaja / dewasa, tumbuh tidak sesuai dengan harapannya, menjadi remaja yang nakal, terjerumus dalam pergaulan bebas, narkoba dan lain-lain, maka mulailah orangtua mencari kambing hitam. “Pembantunya dulu tidak sekolahan, baby sisternya bodoh, sekolahnya tidak beres, guru-gurunya tidak becus mendidik anak, anak tetangga pada brengsek, teman-teman pergaulannya  brandalan pada ngobat, membuat anak saya hancur”. Kira-kira demikian omelan orang tua ketika anaknya terjebak dalam masalah. Yang pasti orangtua pada kondisi demikian  tidak mau berada pada pihak yang disalahkan.
Mereka merasa selalu benar, tidak pernah salah.Situasi demikian terjadi, karena orangtua lupa bahwa pendidik pertama dan utama adalah orangtua sendiri. Keberhasilan pendidikan anak berangkat dari rumah, dari keluarga, dari kedua orangtuanya,  bukan dari sekolah maupun lingkungan masyarakat. Terlebih yang berkaitan dengan pendidikan nilai, pendidikan moral dan pendidikan keagamaan. Sangat penting bagi para orang tua untuk mulai refleksi diri, menyadari sepenuhnya bahwa terlalu bahaya dan beresiko sangat tinggi  mempercayakan pendidikan anak hanya kepada sekolah, kepada pembantu, kepada baby sister. Beberapa pertanyaan berikut barangkali dapat membantu untuk refleksi. Benarkah saya sebagai orangtua selama ini sudah bertanggungjawab mendidik anak-anak yang saya lahirkan?. Sudahkah saya memberikan perhatian khusus kepada anak-anak saya dari waktu kewaktu?. Berkeberatankah saya sebagai Ibu memberikan ASI (Air Susu Ibu) kepada bayi saya, hanya demi egoisme saya dan suami?

Cukupkah saya hanya memberikan uang dan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan anak saya?. Sudahkah saya menciptakan situasi yang harmonis dan kondusif dalam rumah sehingga anak-anak saya tumbuh dan berkembang dengan baik?. Sudahkan saya mengalokasikan waktu khusus untuk curhat dengan anak-anak saya?. Apakah saya sering membelai rambut anak-anak saya dan mengucapkan selamat malam sebelum tidur?. Sesering apakah saya mengajak berdoa  anak-anak saya?. Seberapa sering saya memberikan sapaan dan senyuman kepada anak-anak saya?. Ingatkah saya bahwa dalam janji perkawinan saya akan mendidik anak dengan penuh tanggungjawab sehingga menjadi anak yang sholeh dan sholeha?.
Tegakah / relakah kalau   anak-anak saya  dididik dan diajar hanya oleh pembantu, atau baby-sister?. Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang dapat dilontarkan sebagai bahan refleksi, demi pendidikan anak. Disamping pertanyaan-pertanyaan refleksi di atas, beberapa orangtua sering melakukan kebiasaan-kebiasaan keliru, dirumah dalam kerangka mendidik anak. Beberapa kebiasaan yang sering dilakukan orangtua, yang umumnya dipahami sebagai mendidik, tetapi sebenarnya tidak. Bagaikan mitos yang mesti segera dibuang dari rumah.

1.  Mengancam
         Orangtua paling suka mengancam kepada anak-anaknya, dengan maksud agar “nasihatnya” dituruti. Misalnya; “…. jika kamu tidak mau belajar… mama-papa tidak akan belikan kamu sepatu baru….”, “….jika Andi sampai tidak naik kelas, mama-papa akan kunci kamu di kamar selama sebulan….”. “ ….. kalau kamu tidak mendengarkan kata-kata mama, maka kamu akan saya usir dari rumah ini……”. Demikian, banyak sekali  ancaman bertubi-tubi dilontarkan oleh orangtua kepada anaknya, secara sadar maupun tidak sadar dengan maksud agar anaknya menjadi baik.          Kadang ancaman memang efektif untuk membuat anak menuruti apa yang dikenhendaki oleh orangtua, namun demikian jika hal ini menjadi kebiasaan, anak bukanya makin segan kepada orangtua melainkan anak justru akan stress dan menjadi introvert. Ketika ancaman tidak ada lagi, anak akan menjadi bebas, tidak ada tanggungjawab.           Baik kalau orangtua tidak mengancam melainkan mengadakan pendekatan lebih halus, manusiawi dan membuat suasana bebas dari teror. Misalnya dengan memberikan alasan-alasan logis;  “ …..nilai yang baik, hanya bisa dicapai dengan belajar sungguh-sungguh……bagaimana menurut kamu nak?”, atau “…. Andi….bagaimana kalau kita buat suatu jadwal pribadi, yakni belajar dengan teratur pada waktu dan jam tertentu, sehingga nanti akhir tahun dapat naik kelas…?”.    

2.      Menghukum
Masih ada saja orangtua yang dengan enteng memberikan tamparan atau pukulan kepada anaknya karena  melakukan kesalahan. Orangtua bilang; “…. biar mereka rasakan…… kasih dia pelajaran…… biar kapok,agar  tidak berbuat salah lagi”. Tamparan, tendangan, umpatan dan hukuman lainya, jelas tidak menyelesaikan masalah. Walaupun dalam konteks mendidik, pada umumnya hukuman tidak lebih adalah luapan emosi orangtua, tidak obyektif dan cenderung bukan karena kesalahannya anaknya tetapi karena kekesalannya sendiri. Hal demikian bisa membuat hati dan pribadi anak dicabik-cabik.  Anak yang hidup dengan penuh hukuman tentu akan cenderung takut melakukan kesalahan, padahal kesalahan adalah sebuah awal pembelajaran. Orangtua sebaiknya menyadari bahwa kesalahan bukan akhir dari segalanya, melainkan bijaksana kalau orangtua mengajak anak-anaknya belajar dari kesalahan. Perbaiki dari kesalahan yang ada.  

3.      Menyuap
Orangtua paling suka menyuap anak-anaknya hanya karena tidak mau direpotkan, atau demi alasan praktis yang dianggap enteng. Misalnya ketika pada  pagi hari dimana kedua orang tua harus pergi bekerja, anak menangis “nggero-nggero” (jawa=keras dan terus-menerus) tidak mau ditinggal. Orang tua cukup berkata;  “ baik sayang….. jangan menangis yach ……. ini mama kasih uang Rp. 5000, nanti boleh dibelikan jajan di warung sama suster  yah…… ok…., daa… mama- papa berangkat !!”.  Begitu enteng orang tua meninggalkan anaknya dengan modal lima ribu rupiah. Semakin anak tumbuh dewasa, tuntutan yang di minta semakin besar. Misalnya ; “ ma….. saya ngga mau sekolah lagi, jika ngga dibelikan motor,….”. , “ ma…… saya ngga mau kuliah, kalau ngga dibelikan mobil baru….. “. Demikian seterusnya, sehingga menjadi sebuah kebiasaan, ketika dewasa dan bekerja, hidup dalam masyarakat tentu saja akan menjadi “tukang kompas “.Lebih baik kalau orangtua tidak terjebak pada kebiasaan menyuap, melainkan kepada penghargaan (rewards), ketika anak telah mengerjakan sesuatu dengan baik. Pemberian reward- pun harus seimbang, tidak berlebihan. Jika berlebihan sama akibatnya, yakni present-minded, artinya tidak akan melakukan sesuatu hal jika tidak mendapatkan hadiah.  

4.      Membandingkan
Dengan alasan memberikan dorongan dan motivasi kepada anak, orang tua sering tidak sadar membandingkan seorang anak dengan anak lainya. Misalnya,  “ …. adik gimana sih…., nilainya kok jelek, tidak seperti kakak bagus-bagus….. belajar dong…”. “……. Andi harus bisa dong,……si Richard aja bisa…….”. “nak..jangan nakal dong…itu lho seperti Ira yang di depan rumah, anaknya kalem dan sopan….”.Demikian orangtua kalau memberikan menasihati sekaligus memarahi anaknya, karena apa yang diharapkan tidak terpenuhi. Orangtua tidak sadar bahwa setiap anak adalah unik, tidak bisa dibandingkan atau disamakan dengan anak lain. Kebiasaan membandingkan akan merusak kepercayaan diri anak, menghancurkan proses penemuan jati diri anak. Andi memiliki standar sendiri, tidak sama dengan Richard. Adik memiliki potensinya sendiri yang tidak bisa dibandingkan dengan potensi kakaknya. Jika orangtua ingin membandingkan, bandingkanlah ia dengan dirinya sendiri, dengan prestasi-prestasinya sendiri sebelumnya. Akan positip jika orangtua fokus pada kelebihan-kelebihannya bukan pada kekurangan-kekuranganya.  

5.Possesif
Banyak orangtua merasa bahwa; “anakku adalah milikku”. Seperti halnya barang milikinya, iapun serasa memiliki hak sepenuhnya untuk memperlakukan  barang tersebut seperti yang dia mau. Karena rasa memilikinya sangat besar dengan dalih mencintai sepenuhnya, justru banyak orangtua membuat kesalahan, yakni membatasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak hanya boleh melakukan apa yang diijinkan oleh orangtuanya. Anak mau bermain pasir dilarang, takut nanti kelilipan matanya. Anak mau bermain air tidak boleh, orangtua takut nanti masuk angin. Anak mau bermain lari-larian tidak boleh nanti takut  jatuh, luka dan berdarah. Mau bermain sepeda tidak boleh, nanti takut ketabrak mobil dan lain-lain. Semuanya tidak boleh, ini- itu tidak boleh. Kalau kondisinya demikian, tentu saja anak itu tinggal nunggu waktu, kelak akan jadi pecundang dan segera “mati” dalam hidup. Hendaknya orangtua sadar sepenuhnya bahwa; “anakku, sama sekali bukan milikku”. Orangtua hanya memiliki kewaji menciptakan suatu  kondisi dan fasilitas yang memungkinkan anak dapat tumbuh berkembang sesuai dirinya sendiri.  Bijaksana kalau orangtua memberikan ruang dan kesempatan kepada anak-anak untuk bermain, untuk di sayang, bebas berkreasi sesuai dengan dunia mereka. Kelilipan pasir, jatuh karena naik sepeda, kotor karena bermain lumpur, semuanya adalah bagian dari belajar. Dengan kata lain orangtua mesti menyadari bahwa apa yang menurut orangtua baik, belum tentu baik bagi diri anak, berikut bagi perkembangannya. 

6. Demi masa depan
Dengan dalih  masa depan, banyak orangtua membabi buta mencarikan segala macam jenis kegiatan anaknya. Karena orangtua meyakini bahwa dengan kegiatan-kegiatan itu masa depan anak akan sukses.  Les privat matematika, les privat bahasa Inggris, les Piano, Les Balet, Les Mandarin, les Lukis, Les Biola dan lain lain. Tak ada jeda sedikitpun bagi anak untuk dapat bermain dan melakukan apa yang menjadi kesenangan  dirinya sendiri. Dalam kondisi demikian, anak dipastikan  akan kehilangan masa kanak-kanaknya demi menuruti ambisi / nafsu orangtua, yang sangat bangga kalau anak-anaknya memiliki kegiatan seabrek-abrek. Tidak sedikit orangtua yang suka, bangga, dan pamer kepada teman-temanya arisannya kalau anaknya memiliki kegiatan ini-itu. Tidak disadari bahwa apa yang ia ceritakan dengan bangga itu justru akan merampas kebahagiaan anaknya, merampas masa depan anaknya. Masa depan anak adalah masa kini, saat ini di tempat ini, yakni ketika ia bisa bebas bermain tanpa beban, waktu mereka bisa berteriak tanpa takut, waktu mereka berani mencoba  sesuatu yang baru tanpa takut disalahkan. Bagi orangtua, hendaknya percaya akan tiga hal yakni; pertama: setiap anak memiliki potensinya sendiri. Dengan atau tanpa keterlibatan orangtua yang mendalam, niscaya anak memiliki kemampuan, potensi dan talenta untuk tumbuh dan berkembang. Kedua: orangtua hendaknya juga percaya dengan waktu, bahwa anak memerlukan waktu untuk bertumbuh dan berkembang. Tidak bisa instant, tidak bisa disulap seperti keinginan orangtua. Ketiga: orangtua mesti percaya juga bahwa anak dengan sendirinya akan tumbuh. Pertumbuhanya tidak bisa dipaksakan, yang bisa dilakukan orangtua adalah memberikan dorongan, menciptakan suasana, kondisi dan fasilitas, sehingga ia tumbuh.      

7. Labeling 
Masih banyak didapati orangtua yang dengan segaja atau tidak sengaja memberikan julukan-julukan atau label-label kepada anak-anaknya. “Anakku yang pertama itu sih… anak penurut, anak mami “. “Anak kedua… itu mah….. si bandel, tidak pernah menurut nasihat orang tua”. “Sedangkan anakku yang ketiga adalah “si ideot”, nilai ulangan di sekolahnya tidak pernah mencapai lima”. Dengan memberikan label kepada anak; anak mami, anak bodoh, anak bandel, anak ideot, anak pinter, anak bawel dan lain-lain jelas akan mengurangi ruang gerak dan kreasi anak. Jika berlangsung terus menerus, dimungkinkan akan “terbawahsadarkan” oleh anak tersebut, sehingga jadilah ia persis seperti yang dilabelkan oleh orangtuanya. Hendaknya dihindarkan memberikan label pada anak sendiri maupun anak tetangga maupun anak orang lain, jika orangtua tidak mau disalahkan kelak anak yang bersangkutan dewasa.  Kebiasaan- kebiasaan seperti di atas sering tidak disadari oleh orang tua, dimungkinkan menjadi penyebab terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebagai bahan refleksi, tentu saja masih ada kebiasaan-kebiasaan lain yang senada dengan kebiasaan yang disebutkan di atas. Dengan dalih apapun kebiasaan seperti disebutkan, tidak semestinya dilakukan orangtua kepada anaknya. (Bahan refleksi bagi orangtua)

No comments:

Post a Comment