Mendidik anak bukan perkara mudah, namun demikian tidak
banyak orangtua yang sungguh-sungguh konsen terhadap pendidikan anaknya.
Banyak orangtua merasa sudah cukup apabila semua kebutuhan materi anaknya
dipenuhi. Perkara pendidikan adalah urusan pembantu, urusan baby sister, urusan
sekolah, urusan guru, sedangkan orangtua cukup sebagai “supporter” dalam hal
memenuhi kebutuhan; uang, pakaian, makanan, dan kebutuhan sekunder lainya.
Walhasil ketika anaknya menjadi remaja / dewasa, tumbuh tidak sesuai dengan
harapannya, menjadi remaja yang nakal, terjerumus dalam pergaulan bebas,
narkoba dan lain-lain, maka mulailah orangtua mencari kambing hitam.
“Pembantunya dulu tidak sekolahan, baby
sisternya bodoh, sekolahnya tidak beres, guru-gurunya tidak becus
mendidik anak, anak tetangga pada brengsek, teman-teman pergaulannya
brandalan pada ngobat, membuat anak saya hancur”. Kira-kira demikian omelan
orang tua ketika anaknya terjebak dalam masalah. Yang pasti orangtua pada kondisi
demikian tidak mau berada pada pihak yang disalahkan.
Mereka merasa selalu benar, tidak pernah salah.Situasi
demikian terjadi, karena orangtua lupa bahwa pendidik pertama dan utama adalah
orangtua sendiri. Keberhasilan pendidikan anak berangkat dari rumah, dari
keluarga, dari kedua orangtuanya, bukan dari sekolah maupun lingkungan
masyarakat. Terlebih yang berkaitan dengan pendidikan nilai, pendidikan moral
dan pendidikan keagamaan. Sangat penting bagi para orang tua untuk mulai
refleksi diri, menyadari sepenuhnya bahwa terlalu bahaya dan beresiko sangat
tinggi mempercayakan pendidikan anak hanya kepada sekolah, kepada
pembantu, kepada baby sister.
Beberapa pertanyaan berikut barangkali dapat membantu untuk refleksi. Benarkah
saya sebagai orangtua selama ini sudah bertanggungjawab mendidik anak-anak yang
saya lahirkan?. Sudahkah saya memberikan perhatian khusus kepada anak-anak saya
dari waktu kewaktu?. Berkeberatankah saya sebagai Ibu memberikan ASI (Air Susu
Ibu) kepada bayi saya, hanya demi egoisme saya dan suami?
Cukupkah saya hanya memberikan uang dan memenuhi semua
kebutuhan dan keinginan anak saya?. Sudahkah saya menciptakan situasi yang
harmonis dan kondusif dalam rumah sehingga anak-anak saya tumbuh dan berkembang
dengan baik?. Sudahkan saya mengalokasikan waktu khusus untuk curhat dengan anak-anak
saya?. Apakah saya sering membelai rambut anak-anak saya dan mengucapkan
selamat malam sebelum tidur?. Sesering apakah saya mengajak berdoa
anak-anak saya?. Seberapa sering saya memberikan sapaan dan senyuman kepada
anak-anak saya?. Ingatkah saya bahwa dalam janji perkawinan saya akan mendidik
anak dengan penuh tanggungjawab sehingga menjadi anak yang sholeh dan sholeha?.
Tegakah / relakah kalau anak-anak saya
dididik dan diajar hanya oleh pembantu, atau baby-sister?.
Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang dapat dilontarkan sebagai bahan
refleksi, demi pendidikan anak. Disamping pertanyaan-pertanyaan refleksi di
atas, beberapa orangtua sering melakukan kebiasaan-kebiasaan keliru, dirumah
dalam kerangka mendidik anak. Beberapa kebiasaan yang sering dilakukan
orangtua, yang umumnya dipahami sebagai mendidik, tetapi sebenarnya tidak.
Bagaikan mitos yang mesti segera dibuang dari rumah.
1. Mengancam
Orangtua
paling suka mengancam kepada anak-anaknya, dengan maksud agar “nasihatnya”
dituruti. Misalnya; “…. jika kamu tidak mau belajar… mama-papa tidak akan
belikan kamu sepatu baru….”, “….jika Andi sampai tidak naik kelas, mama-papa
akan kunci kamu di kamar selama sebulan….”. “ ….. kalau kamu tidak mendengarkan
kata-kata mama, maka kamu akan saya usir dari rumah ini……”. Demikian, banyak
sekali ancaman bertubi-tubi dilontarkan oleh orangtua kepada anaknya,
secara sadar maupun tidak sadar dengan maksud agar anaknya menjadi baik.
Kadang ancaman memang efektif
untuk membuat anak menuruti apa yang dikenhendaki oleh orangtua, namun demikian
jika hal ini menjadi kebiasaan, anak bukanya makin segan kepada orangtua
melainkan anak justru akan stress dan menjadi introvert. Ketika ancaman tidak
ada lagi, anak akan menjadi bebas, tidak ada tanggungjawab.
Baik kalau orangtua tidak
mengancam melainkan mengadakan pendekatan lebih halus, manusiawi dan membuat
suasana bebas dari teror. Misalnya dengan memberikan alasan-alasan logis;
“ …..nilai yang baik, hanya bisa dicapai dengan belajar
sungguh-sungguh……bagaimana menurut kamu nak?”, atau “…. Andi….bagaimana kalau
kita buat suatu jadwal pribadi, yakni belajar dengan teratur pada waktu dan jam
tertentu, sehingga nanti akhir tahun dapat naik kelas…?”.
2. Menghukum
Masih ada saja orangtua yang dengan enteng memberikan
tamparan atau pukulan kepada anaknya karena melakukan kesalahan. Orangtua
bilang; “…. biar mereka rasakan…… kasih dia pelajaran…… biar kapok,agar
tidak berbuat salah lagi”. Tamparan, tendangan, umpatan dan hukuman
lainya, jelas tidak menyelesaikan masalah. Walaupun dalam konteks mendidik,
pada umumnya hukuman tidak lebih adalah luapan emosi orangtua, tidak obyektif
dan cenderung bukan karena kesalahannya anaknya tetapi karena kekesalannya
sendiri. Hal demikian bisa membuat hati dan pribadi anak dicabik-cabik.
Anak yang hidup dengan penuh hukuman tentu akan cenderung takut melakukan
kesalahan, padahal kesalahan adalah sebuah awal pembelajaran. Orangtua
sebaiknya menyadari bahwa kesalahan bukan akhir dari segalanya, melainkan
bijaksana kalau orangtua mengajak anak-anaknya belajar dari kesalahan. Perbaiki
dari kesalahan yang ada.
3.
Menyuap
Orangtua paling suka menyuap anak-anaknya hanya karena
tidak mau direpotkan, atau demi alasan praktis yang dianggap enteng. Misalnya
ketika pada pagi hari dimana kedua orang tua harus pergi bekerja, anak
menangis “nggero-nggero”
(jawa=keras dan terus-menerus) tidak mau ditinggal. Orang tua cukup
berkata; “ baik sayang….. jangan menangis yach ……. ini mama kasih uang
Rp. 5000, nanti boleh dibelikan jajan di warung sama suster yah…… ok….,
daa… mama- papa berangkat !!”. Begitu enteng orang tua meninggalkan
anaknya dengan modal lima
ribu rupiah. Semakin anak tumbuh dewasa, tuntutan yang di minta semakin besar.
Misalnya ; “ ma….. saya ngga mau sekolah lagi, jika ngga dibelikan motor,….”. ,
“ ma…… saya ngga mau kuliah, kalau ngga dibelikan mobil baru….. “. Demikian
seterusnya, sehingga menjadi sebuah kebiasaan, ketika dewasa dan bekerja, hidup
dalam masyarakat tentu saja akan menjadi “tukang
kompas “.Lebih baik kalau orangtua tidak terjebak pada kebiasaan
menyuap, melainkan kepada penghargaan (rewards),
ketika anak telah mengerjakan sesuatu dengan baik. Pemberian reward- pun harus
seimbang, tidak berlebihan. Jika berlebihan sama akibatnya, yakni present-minded, artinya
tidak akan melakukan sesuatu hal jika tidak mendapatkan hadiah.
4. Membandingkan
Dengan alasan memberikan dorongan dan motivasi kepada
anak, orang tua sering tidak sadar membandingkan seorang anak dengan anak
lainya. Misalnya, “ …. adik gimana sih…., nilainya kok jelek, tidak
seperti kakak bagus-bagus….. belajar dong…”. “……. Andi harus bisa dong,……si
Richard aja bisa…….”. “nak..jangan nakal dong…itu lho seperti Ira yang di depan
rumah, anaknya kalem dan sopan….”.Demikian orangtua kalau memberikan menasihati
sekaligus memarahi anaknya, karena apa yang diharapkan tidak terpenuhi.
Orangtua tidak sadar bahwa setiap anak adalah unik, tidak bisa dibandingkan
atau disamakan dengan anak lain. Kebiasaan membandingkan akan merusak
kepercayaan diri anak, menghancurkan proses penemuan jati diri anak. Andi
memiliki standar sendiri, tidak sama dengan Richard. Adik memiliki potensinya
sendiri yang tidak bisa dibandingkan dengan potensi kakaknya. Jika orangtua
ingin membandingkan, bandingkanlah ia dengan dirinya sendiri, dengan
prestasi-prestasinya sendiri sebelumnya. Akan positip jika orangtua fokus pada
kelebihan-kelebihannya bukan pada kekurangan-kekuranganya.
5.Possesif
Banyak orangtua merasa bahwa; “anakku adalah milikku”.
Seperti halnya barang milikinya, iapun serasa memiliki hak sepenuhnya untuk
memperlakukan barang tersebut seperti yang dia mau. Karena rasa
memilikinya sangat besar dengan dalih mencintai sepenuhnya, justru banyak orangtua
membuat kesalahan, yakni membatasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak
hanya boleh melakukan apa yang diijinkan oleh orangtuanya. Anak mau bermain
pasir dilarang, takut nanti kelilipan
matanya. Anak mau bermain air tidak boleh, orangtua takut nanti masuk angin.
Anak mau bermain lari-larian tidak boleh nanti takut jatuh, luka dan
berdarah. Mau bermain sepeda tidak boleh, nanti takut ketabrak mobil dan
lain-lain. Semuanya tidak boleh, ini- itu tidak boleh. Kalau kondisinya
demikian, tentu saja anak itu tinggal nunggu waktu, kelak akan jadi pecundang
dan segera “mati” dalam hidup. Hendaknya orangtua sadar sepenuhnya bahwa;
“anakku, sama sekali bukan milikku”. Orangtua hanya memiliki kewaji menciptakan
suatu kondisi dan fasilitas yang memungkinkan anak dapat tumbuh
berkembang sesuai dirinya sendiri. Bijaksana kalau orangtua memberikan
ruang dan kesempatan kepada anak-anak untuk bermain, untuk di sayang, bebas
berkreasi sesuai dengan dunia mereka. Kelilipan pasir, jatuh karena naik
sepeda, kotor karena bermain lumpur, semuanya adalah bagian dari belajar.
Dengan kata lain orangtua mesti menyadari bahwa apa yang menurut orangtua baik,
belum tentu baik bagi diri anak, berikut bagi perkembangannya.
6. Demi masa depan
Dengan dalih masa depan, banyak orangtua membabi
buta mencarikan segala macam jenis kegiatan anaknya. Karena orangtua meyakini
bahwa dengan kegiatan-kegiatan itu masa depan anak akan sukses. Les
privat matematika, les privat bahasa Inggris, les Piano, Les Balet, Les
Mandarin, les Lukis, Les Biola dan lain lain. Tak ada jeda sedikitpun bagi anak
untuk dapat bermain dan melakukan apa yang menjadi kesenangan dirinya
sendiri. Dalam kondisi demikian, anak dipastikan akan kehilangan masa
kanak-kanaknya demi menuruti ambisi / nafsu orangtua, yang sangat bangga kalau
anak-anaknya memiliki kegiatan seabrek-abrek.
Tidak sedikit orangtua yang suka, bangga, dan pamer kepada teman-temanya
arisannya kalau anaknya memiliki kegiatan ini-itu. Tidak disadari bahwa apa
yang ia ceritakan dengan bangga itu justru akan merampas kebahagiaan anaknya,
merampas masa depan anaknya. Masa depan anak adalah masa kini, saat ini di
tempat ini, yakni ketika ia bisa bebas bermain tanpa beban, waktu mereka bisa
berteriak tanpa takut, waktu mereka berani mencoba sesuatu yang baru
tanpa takut disalahkan. Bagi orangtua, hendaknya percaya akan tiga hal yakni; pertama: setiap anak
memiliki potensinya sendiri. Dengan atau tanpa keterlibatan orangtua yang
mendalam, niscaya anak memiliki kemampuan, potensi dan talenta untuk tumbuh dan
berkembang. Kedua:
orangtua hendaknya juga percaya dengan waktu, bahwa anak memerlukan waktu untuk
bertumbuh dan berkembang. Tidak bisa instant, tidak bisa disulap seperti
keinginan orangtua. Ketiga: orangtua mesti percaya juga bahwa anak dengan
sendirinya akan tumbuh. Pertumbuhanya tidak bisa dipaksakan, yang bisa
dilakukan orangtua adalah memberikan dorongan, menciptakan suasana, kondisi dan
fasilitas, sehingga ia tumbuh.
7. Labeling
Masih banyak didapati orangtua yang dengan segaja atau
tidak sengaja memberikan julukan-julukan atau label-label kepada anak-anaknya.
“Anakku yang pertama itu sih… anak penurut, anak mami “. “Anak kedua… itu
mah….. si bandel, tidak pernah menurut nasihat orang tua”. “Sedangkan anakku
yang ketiga adalah “si ideot”, nilai ulangan di sekolahnya tidak pernah
mencapai lima”.
Dengan memberikan label kepada anak; anak mami, anak bodoh, anak bandel, anak
ideot, anak pinter, anak bawel dan lain-lain jelas akan mengurangi ruang gerak
dan kreasi anak. Jika berlangsung terus menerus, dimungkinkan akan
“terbawahsadarkan” oleh anak tersebut, sehingga jadilah ia persis seperti yang
dilabelkan oleh orangtuanya. Hendaknya dihindarkan memberikan label pada anak
sendiri maupun anak tetangga maupun anak orang lain, jika orangtua tidak mau
disalahkan kelak anak yang bersangkutan dewasa. Kebiasaan- kebiasaan
seperti di atas sering tidak disadari oleh orang tua, dimungkinkan menjadi
penyebab terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebagai bahan
refleksi, tentu saja masih ada kebiasaan-kebiasaan lain yang senada dengan
kebiasaan yang disebutkan di atas. Dengan dalih apapun kebiasaan seperti
disebutkan, tidak semestinya dilakukan orangtua kepada anaknya. (Bahan refleksi bagi orangtua)
No comments:
Post a Comment